Mouse pelangi Wavy Tail Toulousemanagement: OPTIMASI PERAN DIASPORA

Rabu, 05 Juli 2017

OPTIMASI PERAN DIASPORA

OLEH BIMO SASONGKO

Presiden Amerika Serikat ke-44 Barack Obama dijadwalkan hadir untuk membuka Kongres Diaspora Indonesia ke-4 di Jakarta. Tujuan utama kongres untuk menghimpun potensi yang dimiliki Diaspora Indonesia agar bisa memberikan nilai tambah dan pemikiran bagi pembangunan di Tanah Air.

Dialektika kehidupan dan gaya kepemimpinan Obama sangat menginspirasi masyarakat dan Diaspora Indonesia. Konektivitas dunia yang berkembang pesat menjadikan negara seolah tanpa batas. Warga dunia semakin mudah menjalin kerjasama dan bekerja di negara lain.

Kondisi demografi Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dan segera memasuki era bonus demografi mestinya  menjadikan bangsa ini memiliki jumlah diaspora nomor tiga dunia setelah Tiongkok dan India.

                Diaspora adalah penghasil devisa yang sangat signifikan. Peran diaspora Indonesia juga penting dalam proses global brain circulation yang sangat menentukan bagi pengembangan iptek dan pendidikan. Begitupun promosi industri budaya dan produk nasional bisa tersebar ke seantero dunia lewat diaspora.

                Untuk mewujudkan hal diatas perlu mengoptimalkan langkah Indonesian Diaspora Network Global (IDNG). Saatnya para diaspora bersinergi  bangun negeri dengan kiprahnya masing-masing di luar negeri. 
Kongres Diaspora Indonesia adalah perhelatan yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali oleh IDNG. Jaringan ini dibentuk saat kongres Diaspora Indonesia yang pertama di Los Angeles pada 2012. Kongres ke-4 kali ini untuk membahas berbagai isu ekonomi, sosial dan budaya. Dengan tujuan meningkatkan kehidupan masyarakat Indonesia di tanah air maupun di luar negeri.

Kementerian Luar Negeri RI perlu membuat sistem informasi dan menerbitkan kartu Diaspora Indonesia untuk memetakan secara detail  kiprah dan potensi.Terutama spesialisasi profesi dan domisili diaspora. Sistem informasi dan pembuatan kartu untuk memberikan dukungan kepada para diaspora terkait aktivitasnya di luar negeri. Seperti misalnya dukungan fasilitas yang diberikan mereka dalam bentuk insentif dalam bisnis maupun investasi.

Sistem informasi dan kartu diaspora harus diikuti dengan kebijakan yang konkrit untuk membantu para diaspora yang kini menjadi pekerja migran. Eksistensi IDNG harusnya bisa bantu pekerja migran yang kini butuh sistem kontrak mandiri. Kontrak mandiri merupakan proses penempatan tanpa memakai jasa komersial yakni  PJTKI/PPTKIS  di dalam negeri atau pihak agensi di negara penempatan.

Kontrak mandiri sangat dibutuhkan pekerja migran agar mereka tidak lagi terkena overcharging sebagai imbas langsung penempatan oleh PJTKI dan agensi.  Hal itu juga bisa menghemat biaya penempatan buruh migran. Kontrak mandiri juga bisa membuat pekerja migran menjadi lebih tangguh dan lincah karena tertantang untuk terus mengembangkan diri. Mestinya pemerintah Indonesia jangan kalah dengan Filipina yang telah memberi kebebasan bagi warganya yang menjadi diaspora dalam hal kontrak mandiri jika bekerja di luar negeri.

           Pemerintah bersama IDNG harus segera merumuskan peta jalan untuk  mengoptimasikan  peran diaspora dan memperbanyak jumlahnya hingga menjadi  tiga besar dunia. Hal itu tentunya membutuhkan strategi dan skema pembiayaan yang konsisten. Perlu program untuk mentransformasikan Diaspora Indonesia yang kini berprofesi sebagai  penata laksana rumah tangga (PLRT) berubah menjadi TKI formal dengan kompetensi serta lebih bermartabat dan bernilai tambah.

Para diaspora juga sangat penting untuk membantu merumuskan jenis profesi di luar negeri yang bisa diambil oleh WNI berpendidikan yang kini banyak menganggur. Seperti misalnya SDM kesehatan khususnya perawat yang terpaksa menganggur atau kerja tak menentu sebagai pegawai honorer. Sebaiknya mereka diarahkan menjadi pekerja migran. Hal ini tentunya perlu pemberian fasilitas pembiayaan. Sudah waktunya perbankan nasional menyiapkan plafon kredit. 

Kini Diaspora Indonesia banyak yang berperan penting dalam berbagai profesi dan bidang keilmuwan. Seperti diaspora di Malaysia yang tergabung dalam Indonesia Brain Gain (IBG) Association Chapter Kuala Lumpur yang telah menerbitkan buku yang bertajuk Indonesia Brain Gain. Buku ini membahas  tentang industri energi, penerbangan, inovasi teknologi, kewirausahaan, produk halal dan trend  global.

Tak pelak lagi, diaspora saat ini makin mendapatkan perhatian serius oleh semua negara. Posisi penyumbang diaspora terbesar dunia kini ditempati Tiongkok dan posisi kedua ditempati India. Kedua posisi ini seiring dengan total populasi kedua negara tersebut. Diaspora Indonesia layak belajar dari diaspora Tiongkok maupun India. Banyak diantaranya yang  berhasil menjadi  pemimpin korporasi dan organisasi global di luar negeri.

Diaspora memiliki peranan penting dalam mempromosikan Indonesia di negara-negara lain. Diaspora Tiongkok mampu berkontribusi bagi negaranya sekitar  780 miliar dollar AS setiap tahunnya. Sedangkan diaspora India berkontribusi bagi negaranya sekitar 180 miliar dollar AS. Sementara diaspora Indonesia pada 2016 baru bisa mendatangkan devisa sekitar 9 miliar dollar AS.

Semangat voluntarisme dari para diaspora harus terus difasilitasi agar mereka tetap memiliki kecintaan pada Tanah Air dan berbakti nyata demi pembangunan  Indonesia. 

Saatnya peningkatkan human capital investment dengan mencetak sebanyak mungkin Diaspora Indonesia yang unggul dan berkompeten. Karena permasalahan terkait dengan pekerja migran menyangkut tingkat pendidikan dan kompetensi yang memadai.  Indonesia harus malu karena standar kompetensi pekerja migran asal Filipina rata-rata lebih tinggi. Karena sistem sertifikasi dan standar kompetensi disana lebih kredibel, cepat berkembang dan tertata dengan baik.

Trend global menunjukkan bahwa jumlah wirausaha dari kalangan pekerja migran saat ini berkembang pesat. Para diaspora sedang bertransformasi menjadi pengusaha atau wirausaha. Ada fenomena yang sangat menarik dan bisa dijadikan model yang bagus. Yakni semakin banyaknya pekerja migran dari berbagai negara yang menjadi wirausaha di Jerman. 

Menurut laporan Bank Pembangunan Jerman, seperlima perusahaan baru di Jerman didirikan oleh para enterpreneur muda dari kalangan pekerja migran. Para migran di Jerman banyak punya gagasan bisnis yang konkrit dan berhasil meluncurkan produk baru ke pasaran. Mereka sekaligus membuka lapangan kerja baru. Para migran menjadi pengusaha dalam usia jauh lebih muda. Sekitar 48 persen wiraswasta berlatar belakang migran berusia di bawah 30 tahun. Mereka kebanyakan langsung mendirikan perusahaan begitu menyelesaikan pendidikan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar